Undang-Undang
(UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disahkan tanpa
ingar-bingar. Semula, banyak pihak memandang positif kehadiran UU ITE
karena tujuannya mulia, melindungi moral bangsa.
Namun dalam perkembangannya, banyak pihak mulai
berpolemik terkait ekses negatif dari UU tersebut, terutama bagi dunia
pers.Bagaimana menyikapinya? UU ITE adalah cyber law pertama di
Indonesia.Semula, sebagian besar masyarakat memiliki persepsi bahwa UU
tersebut sebatas untuk memblokir situs porno. Setelah proses sosialisasi
berjalan, barulah dipahami bahwa UU tersebut memiliki substansi yang
melingkupi seluruh transaksi berbasis elektronik.
Sebagai
payung hukum dunia maya pertama,cukup dipahami jika UU ITE menimbulkan
polemik. Perdebatan mengemuka di sejumlah kalangan, termasuk di kalangan
pers.Bagi dunia pers,UU ITE dipandang sebagai sinyal menguatnya peran
pemerintah dalam melakukan kendali kebebasan pers. Tidak salah jika UU
tersebut dinilai sebagailampukuningbagiparajurnalis untuk lebih
berhati-hati dalam menyampaikan pemberitaan.
Hadirnya
UU ITE menyebabkan dunia pers, terutama pers online, menjadi terikat.
Sebab,UU tersebut secara khusus mengatur penyampaian informasi secara
elektronik melalui internet dan tidak memandang apakah yang menyampaikan
informasi tersebut pers atau bukan. Ada dua pasal UU ITE yang menjadi
sorotan dan dipandang mengancam pers, yaitu Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45
ayat 1. Pasal 27 ayat 3 mengatur larangan bagi seseorang untuk
menyebarkan informasi yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran
nama baik.
Bagi yang tak mengindahkan,akan
diancam pidana penjara maksimal 6 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar
seperti diatur dalam Pasal 45 ayat 1.Ancaman pidana itu bukan untuk
korporasi seperti yang diatur UU Pers, tetapi untuk perorangan. Jalan
untuk memidanakan pers pun bisa langsung, tak perlu harus melewati
prosedur hak jawab, somasi,atau mengadu ke Dewan Pers.
Inilah
poin-poin yang dipandang dapat melemahkan pers dalam melaksanakan
profesinya.Tidak hanya para pekerja pers,para pemilik perusahaan pers
pun dirundung kekhawatiran. Bahkan Dewan Pers yang merupakan lembaga
ombudsmanbagi pihak-pihak yang dirugikan pemberitaan pers pun
demikian.Tidak dilibatkannya Dewan Pers ataupun pihak-pihak yang
merepresentasikan insan pers, membuat UU tersebut menjadi sorotan dan
menimbulkan kontroversi.
Pembelajaran bagi semua
Setuju
atau tidak setuju, menyikapi UU ITE memang harus dengan kelapangan
hati, demi kepentingan bangsa ini dan bukan kepentingan orang per orang
atau kelompokkelompok tertentu.
Di balik sejumlah
kekurangan UU ITE, patutlah niat baik tersebut didukung.UU ini merupakan
upaya pemerintah melaksanakan tata kelola teknologi yang baik sekaligus
langkah penyelamatan moralitas anak negeri ini.Pendidikan di rumah
tidak sepenuhnya cukup untuk membentengi anak-anak dari pengaruh
lingkungan.
Makin beragamnya produk teknologi dan
kemudahan untuk mendapatkannya kerap disalahgunakan untuk hal-hal yang
tidak membawa manfaat, bahkan berpotensi merusak perilaku. Harus
disadari, sebuah kebijakan tidak akan pernah lepas dari sisi
positifnegatif– yang pada praktiknya kerap mengundang pro-kontra.Dalam
hal ini, yang terpenting adalah bagaimana mewujudkan niat dan tujuan
yang baik dengan cara yang baik.
Dalam konteks UU
ITE, niat dan tujuan yang pada awalnya dinilai baik,ternyata menjadi
polemik lantaran dalam proses perumusannya tidak melibatkan sejumlah
pihak terkait yang akan melaksanakan produk hukum. Inilah yang
menyebabkan produk hukum tersebut dipandang tidak akomodatif dan
bukannya memberikan solusi,tapi malah menimbulkan persoalan,bahkan
mengancam pihak-pihak tertentu yang seharusnya dilindungi.
Ke
depan, dalam menyusun kebijakan, pemerintah perlu mengajak pihak-pihak
terkait untuk duduk dan bicara bersama. Hal ini untuk mengakomodasi
aspirasi sekaligus mengeliminasi dampak negatif yang berpotensi muncul.
Pemerintah pun diharapkan menjadi lebih arif dan bijaksana dalam
menghasilkan kebijakan. Transparansi dapat menghindarkan pemerintah dari
mosi tidak percaya dan tudingan adanya kepentingan pemilik modal di
balik produk yang dihasilkannya. Selain itu, pemerintah perlu menyiapkan
dengan segera peraturan pemerintah (PP) sebagai pedoman pelaksanaan UU
tersebut.
Sosialisasi pun sebaiknya melibatkan
berbagai kalangan agar pesan dari UU ITE tersampaikan pada semua elemen
dengan persepsi yang sama.Pemerintah perlu pula segera menyusun standar,
operasi, dan prosedur (SOP) guna menghindari penyalahgunaan UU
tersebut. Perlu pembinaan yang intensif, baik pada pelaku bisnis, pelaku
teknologi informasi,juga aparat, agar produk hukum ini tidak
disalahgunakan bagi pihak-pihak yang mencari-cari kesalahan.
Terakhir,
pemerintah perlu membuka diri untuk menerima masukan atas
kelemahan-kelemahan yang ada pada UU ITE.Bagaimanapun,UU tersebut perlu
terus disempurnakan. Perlu hati yang besar untuk berkenan menerima
kritikan. Pemerintah memang berkewajiban mengatur hal-hal yang terkait
dengan hajat masyarakat. Dunia pers pun memiliki tanggung jawab sosial
untuk menyampaikan informasi yang benar pada masyarakat.
Atas
dasar itu, jika pemerintah berkenan duduk dan bicara bersama dengan
insan pers, mungkin ketidaksamaan persepsi ataupun hal-hal yang dapat
mengebiri hak dan kewajiban salah satu pihak akan dapat diselesaikan.
Semoga masih ada jalan untuk menyelesaikannya.(*)
|
Kamis, 26 September 2013
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) UU ITE Tak Sekadar Blokir Pornografi
Oleh: Naura Najwa Hairrudin
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar