Selasa, 14 Oktober 2008

Kinetika enzim


Mengukur Kadar Enzim

Enzim sebagai katalisator juga mempunyai sifat-sifat seperti katalisator pada umumnya, seperti ikut bereaksi, tetapi padaakhir reaksi didapatkan kembali dalam bentuk semula. Hal tersebut mengakibatkan enzim dapat dipakai kembali setelah melaksanakan aktivitasnya, sehingga tubuh kita tidak membutuhkan enzim dalam jumlah yang besar. Jumlah/kadar enzim yang kecil tersebut menimbulkan kesulitan tersendiri bagi kita untuk mengukur kadar enzim, sehingga memerlukan teknik yang rumit. Secara klinis pengukuran kadar enzim sangat penting dilakukan. Disamping untuk mengetahui kadar suatu enzim pada seorang penderita, Enzim plasma nonfungsinal dapat dijadikan sebagai petanda adanya kerusakan organ tertentu.
Pengukuran kadar enzim dapat dilkaukan denga dua cara, yaitu: (1) dibandingkan dengan enzim murni; (2) Mengukur kecepatan reaksi yang dikatalisisnya. Cara ke-1 dilakukan dengan membandingkan enzim yang ingin diukur kadarnya dengan enzim murni yang sudah
diketahui kadarnya. Kadar enzim dinyatakan dengan satuan µg. Sebagai contoh misalnya enzim murni dengan kadar 2 ug dapat mengkatalisis substrat dengan jumlah tertentu selama 10 detik. Jika memakai enzim yang ingin diukur kadarnya membutuhkan waktu 20 detik, maka kadar enzim yang bersangkutan adalah 1 ug.
Pengukuran dengan cara diatas, jelas membutuhkan tersedianya enzim murni. Kenyataannya banyak enzim yang belum tersedia bentuk murninya. Untuk mengatasi hal ini digunakanlah cara ke-2. Satuan enzim dinyatakan dalam unit. Kadar enzim diukur berdasarkan jumlah substrat yang bereaksi atau produk yang terbentuk per satuan waktu. Satu unit internasional disepakati sebagai jumlah enzim yang perlukan untuk mengkatalisis pembentukan 1 µ mol produk per menit pada kondisi tertentu.
Pengukuran aktifitas enzim dapat pula dilakukan menggunakan alat spektrofotometer. Sebagai contoh misalnya aktifitas enzim dehidrogenase yang bergantung NAD(P)+ diperiksa secara spektofotometris dengan mengukur perubahan absorbsi nya pada 340 nm yang menyertai oksidasi atau reduksi NAD(P)+/NAD(P)H. Oksidasi NADH menjadi NAD+ terjadi disertai dengan penurunan densitas optik (OD, optical density) pada 340 nm, yang proporsional dengan jumlah NADH yang dioksidasi. Demikian pula, kalau NAD+ direduksi, OD pada 340 nm akan meningkat sebanding dengan jumlah NADH yang terbentuk. Perubahan OD pada 340 nm ini dapat dimanfaatkan bagi pemeriksaan analisis kuantitatif setiap enzim dehidrogenase yang bergantung NAD+ atau NADP+. Bagi enzim dehidrogenase yang mengatalitis oksidasi NADH oleh substratnya yang teroksidasi, kecepatan penurunan OD pada 340 nm akan berbanding lurus dengan konsentrasi enzim. Oleh karena itu, hasil pengukuran kecepatan penurunan OD pada 340 nm memungkinkan kita menyimpulkan kuantitas enzim.

Kecepatan Reaksi Enzimatik
Kecepatan reaksi enzimatik dapat diukur dengan mengukur jumlah substrat yang diubah atau produk yang dihasilkan persatuan waktu, seperti yang diperlihatkan pada kurva perjalanan reaksi enzimatik (progess curve). Pada awalnya grafik berupa garis lurus, kemudian berbelok (Gambar 3.2). Grafik berbelok karena: (1) kadar substrat berkurang; (2) terdapat product inhibition. Kecepatan reaksi enzimatik pada suatu waktu yang sangat pendek, atau pada satu titik tertentu pada grafik diatas disebut kecepatan sesaat (instantaneus velocity). Kecepatan sesaat merupakan tangens dari garis singgung terhadap grafik pada suatu titik tertentu. Kecepatan sesaat pada waktu mendekati nol, yaitu saat grafik masih berupa garis lurus disebut kecepatan awal (Vo). Pada reaksi enzimatis, jika disebut kecepatan, umumnya yang dimaksud adalah kecepatan awal. Hal ini disebabkan karena pada keadaan awal reaksi, kita dapat mengetahui kondisi/ keadaan dengan lebih tepat. Disamping kecepatan sesaat dan Vo, juga dikenal istilah kecepatan rata-rata, yaitu perbandingan antara perubahan jumlah substrat terhadap waktu.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecepatan Reaksi Enzimatik
Kecepatan reaksi enzim dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut diantaranya adalah: (1) suhu; (2) pH; (3) kadar enzim; (4) kadar substrat; (5) aktivator; (6) inhibitor.

4 komentar:

sie_bhy mengatakan...

salam kenal dr Hairrudin
saya mega wangi ingin bertanya pada bapak tentang pengukuran aktivitas enzim SOD dengan menggunakan spektrofotometer..kira-kira prinsipnya gmn? dan apakah yang diukur tersebut menggunakan substrat sisa ataukah produk akhirnya? terima kasih sebelumnya

nay_aet mengatakan...

saya ananda, dalam pengukuran kenetika reaksi enzim misal dengan sampel nanas, untuk mengukur absorbansi sampel mengapa digunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 280 nm?

lalu mengapa pada pembuatan grafik kenetika reaksi enzim digunakan kurva standar tirosin?

dan mengapa saat praktikum kinetika reaksi enzim ada kontrol dan ada sampel? Apa fungsi kontrol di sini?

kenapa sampel dan kontrol (ekstrak nanas) perlu diinkubasi? Apa fungsi dari inkubasi tersebut?

dalm pembuatan sampel dan kontrol ditambahkan TCA dan kasein,,, apa fungsi dari penambahan TCA dan kasein tersebut?

metode yang digunakan untuk mengukur kinetika reaksi enzim selain dari metode kunit,, apakah masih ada metode lain? Bila ada, mohon dijelaskan.

dalam prosedur pembuatan sampel dan kontrol (metode kunit) diberi perlakuan yang berbeda antara sampel dan kontrol, di mana sampel diberi kasein dan TCA, sedangkan kontrol hanya diberi TCA saja.
Mengapa terdapat perbedaan prosedur antara sampel dan kontrol?



terima kasih sebelumnya..
maaf merepotkan.

Klinik dr. Hairrudin, M.Kes mengatakan...

Trimakasih atas pertanyaan anda. SOD terdapat terdapat diberbagai jaringan. Prinsip pengukurannya hampir sama. Sebagai contoh misalnya SOD eritrosit. Aktivitas SOD eritrosit dapat diukur dengan metode Wong (1989) dengan satuan uU/eritrosit. Prinsip metode ini, adalah dengan mengukur kadar formazan (berwarna merah), yang merupakan hasil reduksi NBT (nitro blue tetrazolium) oleh ion superoksida. Ion superoksida dibentuk dengan mereaksikan santin dan santin oksidase. Satu unit aktivitas SOD menunjukkan sejumlah enzim yang dibutuhkan untuk menghambat reduksi NBT menjadi 50% dalam kondisi tertentu (Rukmini et al., 2004) Perubahan warna yang terjadi kemudian diamati dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 580 nm. Jadi yang diukur adalah hambatan terhadap reduksi NBT.

Klinik dr. Hairrudin, M.Kes mengatakan...

Trimakasih atas partisipipasi ananda. Berikut saya uraikan pendapat saya.

1. Sitiap bahan dalam larutan yang akan diukur menggunakan spektofotometer mempunyai spesifikasi absorbansi yang spesifik, misalnya kolesterol: 560-580 nm. Kemungkinan bahan yang akan anda ukur spesifik pada panjang gelombang 280 nm.

2. Saya kurang setuju dengan pendapat anda. Pengukuran reaksi enzimatik tidak harus menggunakan kurva standart tirosin.

3. Fungsi kontrol adalah sebagai pembanding, karena pada pengukuran menggunakan spektrofotometer yang terukur adalah absorbansinya, bukan kadar sebenarnya. Oleh karena itu perlu dibandingkan dengan kadar kontrol yang sudah kita ketahui kadarnya.

4. Inkubasi biasanya dibutuhkan untuk memberikan waktu yang cukup, agar reaksi enzimatik berjalan optimal.

5. TCA untuk mengendapkan protein. casein untuk menggumpalkan protein tertentu

6. Dikontrol tidak mengandung protein yang dimaksud.

6.