Khairunnisa Musari
(Radar Jember, Perspektif, 29 Mei 2010, Hlm. 33)
Jeruk kok
makan jeruk!!! Begitulah sebuah iklan minuman rasa jeruk yang dulu
sering muncul di televisi. Mungkin pernyataan itu cukup pas untuk
menggambarkan fenomena ‘perseteruan’ jeruk impor dan jeruk lokal belakangan ini.
Jeruk Semboro
Harus diakui, jeruk impor kian laris manis. Keberadaannya merajai di hampir semua sentra-sentra penjualan buah. Belum lagi dengan pedagang dadakan yang menggunakan mobil untuk menjajakan di ruas-ruas jalan. Ditambah dengan kian menjamurnya pasar ritel modern di wilayah ibukota-ibukota kecamatan semakin menambah ‘promosi’ jeruk impor.
Kehadiran jeruk impor bukannya tak boleh, terlebih dengan adanya perjanjian perdagangan internasional dan Asean-China Free Trade Area (ACFTA) yang melegitimasinya. Namun demikian, tak layak pula jika kita membiarkan petani jeruk lokal harus terjerembab.
Tidak
bisa dipungkiri, dominasi jeruk lokal mengalami kemerosotan. Jika
secara umum permintaan menciptakan penawaran, namun yang terjadi dalam
‘perseteruan’ kali ini tampaknya penawaran menciptakan permintaan. Jeruk
impor yang konon tidak mudah busuk, warnanya lebih menarik dan tidak berubah walau dipajang beberapa pekan menjadi pemikat bagi importir dan distributor. Terbukti, meski sebagian besar jeruk impor tergolong mahal, realitas menunjukkan ternyata peminat jeruk ini kian besar.
Kabupaten
Jember dengan Kecamatan Semboro dan Umbulsari-nya yang menjadi produsen
jeruk tentu sedikit banyak ikut terkena getah dari kehadiran jeruk
impor. Ditambah lagi dengan persoalan internal yang tak kunjung teratasi
menyebabkan jeruk Semboro dan Umbulsari belum mampu berdigdaya.
Jika disimak, setidaknya ada 5 persoalan klasik di seputar pertanian jeruk lokal. Pertama, rendahnya kualitas dan ketersediaan bibit jeruk.
Hingga saat ini, penyedia bibit bersertifikat masih sangat terbatas.
Jika ingin membeli, sering kali harus menunggu 6 bulan-1 tahun.
Kedua, adanya hama penyakit. Sebut saja Desa Pondok Joyo, Sidomekar, Besuki, Wonoroto, dan Umbulrejo yang petaninya tak mampu berharap banyak dari keuntungan hasil jeruk. Akibat hama penyakit, lahan jeruk yang sehat saat ini tinggal 50 persen. Jika pada 2005 sebanyak 1.305.357 pohon dapat menghasilkan hampir 1.800.988 ton, maka pada 2009 sebanyak 2.094.485 pohon hanya menghasilkan 1.205.052 ton buah jeruk.
Ketiga, perilaku yang tidak sehat. Hal ini pulalah yang kian menyebabkan hama penyakit merajalela. Perilaku petani dalam pemberian pupuk di ambang atas kewajaran serta sistem tebas jeruk yang melewati batas kemasakan menjadikan tanaman jeruk mengalami kerentanan.
Keempat,
modal. Beberapa kali ditemukan petani jeruk yang membutuhkan dana tunai
terpaksa menyewakan lahannya. Penyewa inilah yang kerap kali didapatkan
melakukan perilaku tak sehat bagi tanaman jeruk demi mengeruk
keuntungan berlipat.
Kelima,
kualitas warna dan rasa jeruk lokal kerap dinilai belum sebanding
dengan jeruk impor. Tentu hal ini sangat subjektif. Gengsi kadang kala
juga memegang peran dalam menentukan pilihan. Tidak sedikit pula yang
berpendapat bahwa rasa jeruk lokal jauh lebih manis. Sayangnya, rasa itu
sering tak seragam dan warna kulitnya tak begitu memikat.
Jika
diperhatikan, sesungguhnya persoalan yang terjadi dengan pertanian
jeruk di Jember ini juga adalah persoalan nasional. Keberadaan
perjanjian internasional yang ditandatangani pemerintah Indonesia tanpa
disadari memfasilitasi jeruk impor memangkas kontribusi pertanian jeruk lokal terhadap ekonomi dan penyerapan tenaga kerja serta masa depan tanaman jeruk lokal itu sendiri.
Untuk
menyelamatkan keberlangsungan pertanian jeruk lokal, setidaknya
terdapat beberapa hal penting yang dapat dilakukan ke depan. Dalam
jangka pendek, yang bisa dilakukan adalah mencanangkan gerakan mencintai produk buah lokal. Setiap institusi, baik pemerintah maupun swasta, hendaknya menjadikan produk pertanian lokal sebagai
menu utama dalam setiap kegiatan. Bila perlu, pasar ritel modern
dirangkul untuk berpartisipasi pula dalam penjualannya.
Dalam
jangka menengah, pemerintah daerah hendaknya menginisiasi institusi
terkait lain untuk turut serta membangun sarana dan prasana pendukung
pertanian jeruk. Mulai dari penyediaan bibit bersertifikat, pengadaan
modal kerja atau investasi, pelatihan penanaman jeruk dengan pola yang
benar dan efisien, penyediaan dan penerapan teknologi, peningkatan
standar mutu, hingga mempersiapkan industri pengolahan jeruk yang
bernilai tambah.
Dalam jangka panjang, seyogyanya petani jeruk ataupun petani buah tropika dan hortikultura mengubah orientasinya dari sekedar peningkatan produksi menjadi peningkatan konsumsi sekaligus perbaikan dan peningkatan produksi lokal yang berorientasi pasar ekspor dengan tetap mengutamakan ketersediaan pasokan bagi pasar dalam negeri.
Dengan
demikian, secara tegas dapat kita katakan bahwa jeruk adalah komoditas
yang potensial. Dari sisi kesehatan, buah jeruk dapat memperkuat dinding pembuluh darah kapiler karena adanya kandungan betakaroten dan bioflavanoid. Pektinnya dapat membantu menurunkan kadar kolesterol jahat (LDL) dan meningkatkan kolesterol baik (HDL). Buah jeruk juga sarat flavanoid yang berfungsi sebagai antioksidan penangkal radikal bebas penyebab kanker dan dapat menghalangi reaksi oksidasi LDL yang menyebabkan darah mengental dan mencegah pengendapan lemak pada dinding pembuluh darah. Belum lagi kandungan gula buah yang dapat memulihkan energi secara cepat serta seratnya yang dapat mengikat zat karsinogen dalam saluran pencernaan. Ringkas kata, buah jeruk memiliki kandungan gizi yang sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh.
Seiring dengan isu santer yang sempat berkembang luas bahwa jeruk impor mengandung formalin, maka perlu adanya pengawasan intensif untuk melindungi kepentingan publik. Memang isu tersebut belum dapat dijamin kebenarannya. Namun, di Cilegon, Provinsi Banten, hasil pemeriksaan di Labkesda Serang pernah menunjukkan hasil positif bahwa jeruk yang beredar mengandung bahan kimia formalin yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Wallahu’alam bishowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar