Kamis, 18 Juni 2009

MEMBUKA AKSES KESEHATAN BERKUALITAS

dr. Hairrudin, MKes.*
Khairunnisa Musari**

Kesehatan merupakan hak semua warga negara yang dijamin oleh undang-undang (UU). Kesehatan juga merupakan salah satu elemen penting dalam pengukuran indeks pembangunan manusia (IPM), selain tingkat pendidikan dan pendapatan. Untuk itu, pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Dalam 10 tahun terakhir, status kesehatan masyarakat secara umum terus menunjukkan perbaikan. Hal ini tercermin dari berbagai indikator kesehatan, seperti angka kematian ibu (AKI) yang mengalami penurunan dari 334 pada 1997 menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup pada 2003. Untuk angka kematian bayi, terjadi pula penurunan dari 35 pada 2004 menjadi 29 per 1.000 kelahiran hidup pada 2007. Selain itu, status gizi anak dan bayi usia di bawah 5 tahun (balita) juga mengalami perbaikan. Hal ini dapat disimak dari menurunnya jumlah balita yang mengalami kekurangan gizi dari 34,4 persen pada 1999 menjadi 28 persen pada 2005 (SUSENAS, 1999 dan 2005).
Indikator kesehatan lain menunjukkan pula adanya sejumlah perbaikan. Hal ini dapat dilihat dari umur harapan hidup pada 2006 yang meningkat dari 63,5 tahun (SUSENAS) menjadi 69,4 tahun (Proyeksi BPS, Bappenas, UNFPA). Namun demikian, untuk penyakit menular, ini masih menjadi masalah besar. Menurut catatan Departemen Kesehatan (Depkes), prevalensi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) masih di bawah 0,1 persen. Namun, pada sub-populasi perilaku beresiko telah melebihi 5 persen. Bahkan, di Papua, Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan AIDS telah masuk pada populasi umum dengan prevalensi 2,4 persen (usia 15 - 49 tahun). Dari sumber data yang sama ditunjukkan pula sekitar 110 juta orang di Indonesia tinggal di daerah endemik malaria dan sebagian besar berada di Wilayah Timur Indonesia.
Dengan demikian, harus diakui, berbagai capaian yang ada masih menyisakan pekerjaan rumah. Upaya-upaya yang lebih keras, intensif, dan berkesinambungan mutlak diperlukan. Hal ini mengingat, secara empirik, realitas di sekitar kita masih menunjukkan adanya kelompok masyarakat yang belum atau minim memiliki akses kesehatan yang berkualitas. Persoalan ini memang erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan. Tetapi, itu tidak berarti tidak ada solusi untuk membuka akses, utamanya pada kelompok masyarakat miskin dan yang rentan terhadap kemiskinan.

Kapasitas layanan kesehatan
Dalam skala lokal, nasional maupun global, masalah dan tantangan yang dihadapi dunia kesehatan kian kompleks dan multidimensi. Dalam skala lokal, anggaran dana yang terbatas untuk kesehatan masih menjadi persoalan. Dalam skala nasional, penerapan desentralisasi bidang kesehatan banyak membuat perubahan baru dalam lingkungan strategis. Sementara dalam skala global, Indonesia dituntut untuk dapat mewujudkan sasaran millennium development goals (MDGs) pada 2015.
Menyoal kapasitas nasional dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada, indikator-indikator layanan kesehatan menunjukkan kondisi yang masih jauh dari memadai. Pada 2004, setiap 100.000 penduduk dapat dilayani rata-rata oleh 3,5 pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas). Selain jumlahnya yang kurang, tingkatan kualitas, pemerataan, dan keterjangkauan pelayanan kesehatan di Puskesmas masih menjadi kendala. Pada periode yang sama, baru terdapat 1.179 rumah sakit (RS) yang tersebar, yang terdiri dari 598 RS milik pemerintah dan 581 RS milik swasta. Sementara, jumlah seluruh tempat tidur yang tersedia di RS sebanyak 127.217 atau rata-rata 61 per 100.000 penduduk.
Tidak hanya itu, kualitas pelayanan sebagian besar RS pada umumnya juga masih di bawah standar. Pelayanan kesehatan rujukan juga belum optimal dan belum memenuhi harapan masyarakat. Adapun yang menjadi kendala antara lain lambatnya pelayanan, kesulitan administrasi, dan lamanya waktu tunggu.
Terkait dengan tenaga kesehatan, Indonesia juga masih mengalami kekurangan pada hampir semua jenis kebutuhan. Pada 2004, dokter umum diperkirakan baru melayani 7,7 per 100.000 penduduk. Untuk dokter gigi, dokter spesialis, dan bidan, berturut-turut baru melayani 2,7, 3,0, dan 8,0 per 100.000 penduduk. Demikian pula, sarjana kesehatan masyarakat baru melayani 0,5 per 100.000 penduduk. Lebih lanjut, angka untuk apoteker baru mencapai 1,7, untuk ahli gizi baru 6,6, tenaga epidemiologi 0,1, dan 4,7 untuk tenaga sanitasi.
Selain itu, banyak ditemui pula uskesmas yang belum memiliki dokter dan tenaga kesehatan masyarakat. Keterbatasan ini diperburuk oleh kesenjangan distribusi tenaga kesehatan, dimana sebaran tenaga kesehatan lebih besar terkonsentrasi di Pulau Jawa dan kota-kota besar.

Membuka akses kesehatan berkualitas
Membuka akses kesehatan sama artinya dengan membuka akses pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Secara tidak langsung, hal ini merupakan bagian dari upaya penanggulangan dan pengentasan kemiskinan. Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar, diharapkan masyarakat miskin ini mampu berusaha untuk meningkatkan pendapatan dan keluar dari kemiskinan.
Oleh karena itu, membuka akses kesehatan berkualitas, utamanya bagi penduduk miskin dan yang rentan kemiskinan, patut menjadi prioritas pemerintah. Berbagai kesenjangan kesehatan mengindikasikan bahwa sasaran layanan kesehatan pada waktu mendatang perlu lebih diarahkan pada peningkatan akses layanan bagi kelompok masyarakat yang kurang beruntung, baik dari aspek ekonomi maupun geografis. Untuk itu, perlu restrukturisasi dan reorientasi dari pemerintah untuk memperbaiki sistem agar seluruh elemen masyarakat dapat mengecap kesehatan berkualitas. Pada tataran normatif, hal ini sudah banyak tercetus. Namun, pada tataran implementasi, banyak sekali penyimpangan dan tiadanya keberpihakan. Inilah pekerjaan besar kita bersama...

Tulisan ini dimuat di Radar Jember- Jawa Pos 8 September 2008

* Staf Pengajar Fak. Kedokteran-Unej
** Peneliti Institute for Strategic Economic and Finance (INSEF)

Senin, 15 Juni 2009

ANTARA KRISIS FINANSIAL GLOBAL, PERTANIAN, DAN UNEJ

dr. Hairrudin, M.Kes*
Khairunnisa Musari**


Krisis finansial yang melanda dunia kini berimbas pada perekonomian Indonesia. Meski berusaha disangkal, pengaruh resesi Amerika Serikat (AS) terhadap perekonomian Indonesia tampaknya tidak terelakkan. Tutupnya Bursa Efek Indonesia (BEI) beberapa waktu lalu menjadi bukti nyata betapa perekonomian global berdampak serius terhadap ekonomi negeri ini.
Sektor yang pertama kali terkena imbas dari pelemahan pertumbuhan ekonomi global adalah sektor finansial yang memiliki keterkaitan dengan AS. Langkah Bank Sentral AS yang terus menurunkan tingkat suku bunga, dengan konsekuensi melemahnya nilai tukar dolar AS, tampaknya tidak cukup untuk membendung terjadinya resesi.
Dilihat dari sumber resiko yang memicu persoalan krisis, kondisi saat ini jauh lebih besar dibanding tahun 1997-1998. Pada 1997-1998, pemicu krisis adalah faktor eksternal, yaitu kolapsnya Thai Bank. Saat ini, pemicu krisis adalah juga faktor eksternal, yaitu subprime mortage yang meluas menjadi krisis finansial global. Namun, pemicu kali ini jauh lebih kompleks dan multidimensi dibanding 1997-1998. Dengan banyaknya anak perusahaan, produk, dan jaringan usaha derivatif dari perusahaan finansial AS di Indonesia, maka dapat dipastikan kolapsnya nilai aset global akan berpengaruh pada struktur permodalan perusahaan domestik, apalagi bila kemudian diiringi oleh repatriasi modal atau transfer pricing. Terlebih lagi, jika krisis ini diikuti dengan penarikan dana skala besar pada pasar modal dan keuangan dalam negeri mengingat lembaga keuangan asing memiliki portofolio sekitar 67% di bursa saham kita.

Sektor Pertanian
Sektor pertanian boleh dikata menjadi satu-satunya sektor yang mampu bertahan di tengah krisis finansial global karena tidak berhubungan erat dengan sektor finansial. Sektor pertanian tidak terdapat pada pasar saham dan tidak mendapat fasilitas finansial seperti sektor bidang lain. Oleh karena itu, sektor pertanian dapat menjadi bemper perekonomian dalam memberi konstribusi pertumbuhan ekonomi dan menciptakan kesempatan kerja. Keyakinan ini setidaknya didasarkan dari kemampuan sektor pertanian menjadi salah satu penyumbang terbesar (6%) pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama 2008 yang sebesar 6,3%. Pertumbuhan sektor pertanian ini paling tinggi sejak 10 tahun terakhir.
Namun demikian, realita menunjukkan sektor pertanian tidak lagi diminati generasi muda. Hal ini tercermin dari kosongnya kursi pada jurusan pertanian yang menyisakan 9.019 kursi pada 47 perguruan tinggi negeri (PTN). Pengamatan empirik menunjukkan, sebagian besar anak petani yang berkesempatan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi (PT) tidak berminat memilih jurusan pertanian. Sementara, anak petani yang tidak berkesempatan meneruskan pendidikan ke PT cenderung menekuni pekerjaan di sektor jasa dan perdagangan.
Tidak bisa dimungkiri, minimnya minat untuk masuk jurusan pertanian tidak lepas dari gambaran petani Indonesia yang identik dengan skala usaha sempit, modal terbatas, teknologi yang kurang berkembang, dan tingkat pendidikan yang rendah. Fakta di lapangan juga menunjukkan, pembangunan kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan (pertanian) cenderung terpolarisasi. Kawasan perkotaan berkembang dengan cepat, memiliki pendapatan tinggi, modern, dan menjadi pusat pertumbuhan. Sedangkan kawasan pedesaan relatif berkembang lambat, memiliki pendapatan rendah, terbelakang, dan tergolong miskin. Realitas dan paradigma yang ada inilah yang secara tidak langsung membentuk pola pikir generasi muda untuk memilih sektor nonpertanian.

Universitas Jember (Unej)
Lebih jauh, Unej sesungguhnya memiliki potensi besar untuk menjadi laboratorium penggerak sektor pertanian dan sumber daya manusia (SDM). Menyimak lambang perguruannya, Unej secara filosofis telah memposisikan diri untuk menjadi agent of development pada sektor pertanian. Hal ini sejalan pula dengan lambang daun tembakau yang digunakan Pemerintah Daerah Kabupaten Jember yang melambangkan Kabupaten Jember sebagai gudang pangan, penghasil komoditi tembakau dan perkebunan, serta padi dan kapas yang melambangkan gambaran kesuburan sandang pangan di Kabupaten Jember.
Senada dengan yang disampaikan Muh. Rozaq Asyhari dalam artikel Bangkitlah Kampusku, Harapan Itu Masih Ada pada Radar Jember, 8 Oktober 2008, kami percaya banyak mutiara yang dimiliki Unej. Deretan tenaga pengajar dengan kompetensi yang diakui secara nasional dan internasional merupakan mutiara yang diharapkan mampu memberi sumbangan bagi peningkatan sektor pertanian dan perekonomian, tidak hanya di Kabupaten Jember, tapi juga daerah-daerah di wilayah tapal kuda, Provinsi Jawa Timur, dan Indonesia dalam skala lebih besar.
Oleh karena itu, penting bagi Unej yang memang dari awal sudah dikenal memiliki keunggulan pada jurusan pertanian, untuk terus berinovasi dalam membuat terobosan pendidikan pertanian. Selama ini, sebagaimana kritik yang banyak dilontarkan oleh sejumlah ahli dan praktisi pertanian, jurusan pertanian dirasakan terlalu spesifik, bersifat monodisiplin, dan lebih berorientasi pada aspek pendalaman ilmu.
Ke depan, tuntutan pendidikan pertanian cenderung mengarah pada teknologi pertanian, agroekoteknologi, agrobisnis, dan agroindustri. Unej diharapkan mampu menjawab itu semua. Bahkan, Unej diharapkan pula mampu memberi rekomendasi strategis dalam mengatasi ancaman krisis ketahanan pangan dan food-trap. Dengan meningkatnya perhatian pemerintah terhadap bidang penelitian dan pengembangan, yang ditunjukkan dengan ditingkatkannya belanja penelitian pada Tahun Anggaran 2009, diharapkan dapat memperkuat sinyal bagi Unej untuk menjadi agent of change bagi sektor pertanian guna menjadi pilar pembangunan ekonomi Indonesia Raya.
(tulisan ini dimuat di Radar Jember-Jawa Pos : 18 Oktober 2008)

* Staf Pengajar FK-Unej, alumnus SMU 1 Lumajang
**Kandidat Doktor Unair, alumnus SMU 1 Lumajang