Selasa, 28 Oktober 2008

katabolisme heme

Katabolisme Heme

Katablisme Heme Menghasilkan Bilirubin
Dalam keadaan normal, umur eritrosit sekitar 120 hari. Sehingga, sekitar 100-200 juta eritrosit dihancurkan setiap jammya. Dalam 1 hari lebih kurang 6 gram hemoglobin (untuk berat badan 70 kg) dihancurkan. Proses degradasi ini terjadi di jaringan retikulo endothelial (limpa, hati, dan sumsum tulang), yaitu pada bagian mikrosom dari sel retikulo endothelial.
Hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin. Bagian protein globin diuraikan menjadi asam amino-asam amino pembentuknya kemudian digunakan kembali. Besi akan dilepaskan dari heme kemudian memasuki depot besi yang juga dapat dipakai kembali. Sedangkan porfirinnya akan dikatabolisme dan menghasikan bilirubin.
Proses pertama dari katabolisme heme dilakukan oleh kompleks enzim heme oksigenase. Pada saat mencapai heme oksigenase besi umumnya sudah teroksidasi menjadi bentuk feri membentuk hemin. Hemin kemudian direduksi dengan NADPH, besi feri dirubah kembali menjadi fero. Dengan bantuan NADPH kembali, oksigen ditambahkan pada jembatan a metenil (antara cincin pirol I dan II) membentuk gugus hidroksil, besi fero teroksidasi kembali menjadi feri. Heme oksigenase dapat diinduksi oleh substrat. Selanjutnya, dengan penambahan oksigen lagi ion feri dibebaskan serta terbentuk karbon monoksida dan biliverdin IXa yang berwarna hijau. Pada reaksi ini heme bertindak sebagai katalisator. Pada burung dan amfibia, diekskresi biliverdin IXa. Sedangkan pada mamalia, dengan bantuan enzim biliverdin reduktase, terjadi reduksi jembatan metenil antara cincin pirol III dan IV menjadi gugus metilen, membentuk bilirubin IXa yang berwarna kuning. Satu gram hemoglobin diperkirakan menghasilkan 35 mg bilirubin. Perubahan heme menjadi bilirubin secara in vivo dapat diamati pada warna ungu hematom yang perlahan-lahan beirubah menjadi bilirubin yang berwarna kuning.
Metabolisme Bilirubin di Hati

Metabolisme bilirubin dalam hati dibagi menjadi 3 proses:
1. Pengambilan (uptake) bilirubin oleh sel hati
2. Konjugasi bilirubin
3. Sekresi bilirubin ke dalam empedu

Pengambilan Bilirubin oleh Hati
Bilirubin hanya sedikit larut dalam plasma dan terikat dengan protein, terutama albumin. Beberapa senyawa seperti antibiotika dan obat-obatan bersaing dengan bilirubin untuk mengadakan ikatan dengan albumin. Sehingga, dapat mempunyai pengaruh klinis. Dalam hati, bilirubin dilepaskan dari albumin dan diambil pada permukaan sinusoid dari hepatosit melalui suatu sistem transport berfasilitas (carrier-mediated saturable system) yang saturasinya sangat besar. Sehingga, dalam keadaan patologis pun transport tersebut tidak dipengaruhi. Kemungkinan pada tahap ini bukan merupakan proses rate limiting.

Konjugasi Bilirubin
Dalam hati, bilirubin mengalami konjugsi menjadi bentuk yang lebih polar sehingga lebih mudah diekskresi ke dalam empedu dengan penambahan 2 molekul asam glukoronat. Proses ini dikatalisis oleh enzim diglukoronil transferase dan menghasilkan bilirubin diglukoronida. Enzim tersebut terutama terletak dalam retikulum endoplasma halus dan menggunakan UDP-asam glukoronat sebagai donor glukoronil. Aktivitas UDP-glukoronil transferase dapat diinduksi oleh sejumlah obat misalnya fenobarbital.
Sekresi
Bilirubin yang sudah terkonjugasi akan disekresi kedalam empedu melalui mekanisme pangangkutan yang aktif dan mungkin bertindak sebagai rate limiting enzyme metabolisme bilirubin. Sekeresi bilirubin juga dapat diinduksi dengan obat-obatan yang dapat menginduksi konjugasi bilirubin. Sistem konjugasi dan sekresi bilirubin berlaku sebagai unit fungsional yang terkoordinasi.

Metabolisme Bilirubin di Usus
Setelah mencapai ileum terminalis dan usus besar bilirubin terkonjugasi akan dilepaskan glukoronidanya oleh enzim bakteri yang spesifik (b-glukoronidase). Dengan bantuan flora usus bilirubin selanjutnya dirubah menjadi urobilinogen.
Urobilinogen tidak berwarna, sebagian kecil akan diabsorpsi dan diekskresikan kembali lewat hati, mengalami siklus urobilinogen enterohepatik. Sebagian besar urobilinogen dirubah oleh flora normal colon menjadi urobilin atau sterkobilin yang berwarna kuning dan diekskresikan melalui feces. Warna feces yang berubah menjaadi lebih gelap ketika dibiarkan udara disebabkan oksidasi urobilinogen yang tersisa menjadi urobilin.

Minggu, 19 Oktober 2008

Pofiria

Abnormalitas biosintesis heme menimbulkan gangguan yang dikenal dengan porfiria. Pada porfiria terjadi peningkatan ekskresi porfirin atau prazat porfirin. Kelainan ini jarang terjadi. Porfiria dibagi dalam 2 golongan besar yaitu : (1) Porfiria herediter; (2) Porfiria didapat (acquired porphyria). Organ atau sel yang paling banyak terkena pada porfiria umumnya merupakan organ atau sel yang aktif menyintesis heme seperti sumsum tulang dan hati. Oleh karena itu porfiria juga sering diklasifikasikan berdasarkan organ atau sel yang terkena yaitu porfiria eritropoetik dan hepatik.
1. Porfiria Herediter
a. Acute Intermittent Porphyria
Merupakan penyakit yang diturunkan secara autosomal dominan dan biasanya menjadi nyata setelah usia pubertas. Pada penderita ini aktivitas enzim uroporfirinogen I menurun sehingga sintesis AmLev sintase meningkat. Akibatnya terjadi akumulasi AmLev dan porfobilinogen di jaringan dan cairan tubuh yang kemudian diekskresi melalui urine. Kedua bahan ini tak berwarna tetapi jika terkena sinar/udara porfobilinogen akan menjadi porfirin yang berwarna, sehingga urine penderita menjadi berwarna gelap jika terkena sinar/udara.
Akumulasi AmLev dan porfobilinogen menimbulkan efek toksik pada syaraf abdomen dan SSP, sehingga menimbulkan gejala klinis nyeri perut, muntah-muntah, dan gangguan neuropsikiatri. Kemungkina AmLev juga dapat menghambat enzim ATP-ase di jaringan syaraf atau mungkin AmLev diambil jaringan otak sehingga melumpuhkan hantaran impuls syaraf.
Penderita ini tak mengalami kepekaan yang abnormal terhadap cahaya pada kulitnya. Serangan akut sering terjadi sebagai akibat dari pemberian obat-obatan seperti barbiturat, hormon estrogen dan steroid yang dalam proses metabolismenya memerlukan heme (sitokrom-P450). Pemakaian heme mengakibatkan konsentrasinya menurun sehingga hambatan terhadap AmLev sintase menurun akibatnya aktivitas AmLev sintase meningkat, produksi AmLev dan porfobilinogen juga meningkat, terjadilah serangan akut.

b. Congenital Erytropoetic Porphyria
Merupakan penyakit autosomal resesif. Disini terjadi ketidakseimbangan antara aktifitas uroporfirinogen I sintase dan uroporfirinogen III kosintase, dimana terdapat kekurangan uroporfirinogen III kosintase, sehingga pembentukan derivat yang simetris lebih besar dari yang asimetris. Karena koproporfirinogen oksidase tidak dapat bekerja pada koproporfirinogen I (bentuk yang simetris) mengakibatkan terjadinya akumulasi koproporfirinogen I dan prazat-prazat sebelumnya.
Penderita ini mengekskresi uroporfirinogen I dan koproporfirinogen I dalam urine yang segera dioksidasi menjadi uroporfirin I dan koproporfirin I yang berwarna merah. Dengan sinar UV gigi penderita memberikan fluoresensi merah, sedangkan kulitnya menunjukkan fotosensitifitas yang berlebihan dan kerapuhan yang menyolok.
Porfirinogen akan mengalami oksidasi menjadi porfirin. Derivat porfirin yang bersesuaian akan bereaksi terhadap cahaya tampak dengan panjang gelombang 400 nm. Pajanan cahaya ini menyebabkan porfirin terangsang dan bereaksi dengan oksigen molekuler sehingga terbentuk radikal oksigen. Karena reaktifitasnya radikal oksigen yang terbentuk dapat menyerang berbagai komponen sel termasuk lisosom. Lisosom yang rusak mengeluarkan enzim pengurai yang mengakibatkan kerusakan dan kecacatan pada kulit. Hal inilah yang mendasari terjadinya fotosensitifitas berlebihan yang mengakibatkan penderitanya menyukai kegiatan di malam hari. Kenyataan ini, ditambah dengan gangguan neuropsikiatri yang terjadi menimbulkan spekulasi bahwa prototipe manusia srigala adalah penderita porfiria.
Pemberian β karoten dan tabir surya dapat mengurangi fotosensitifitas. β karoten bekerja dengan cara menetralisir radikal oksigen (bertindak sebagai antioksidan) sedangkan tabir surya dapat menyaring/mengurangi paparan cahaya tampak.

c. Coproporphyria
Merupakan penyakit yang diturunkan secara autosomal dominan. Gangguan terjadi akibat kekurangan enzim koproporfirinogen oksidase yang mengkatalisis perubahan koproporfirinogen III menjadi protoporfirinogen IX. Koproporfirinogen III yang berlebihan akan diekskresi melalui urine dan feces yang segera dioksidasi menjadi koproporfirin yang berwarna merah. Disini terjadi hambatan pembentukan heme terutama dalam keadaan stres, sehingga menyebabkan derepresi AmLev sintase, akibatnya terjadi penumpukan AmLev, porfobilinogen dan intermediet-intermediet heme proksimal terjadinya hambatan. Pada penderita ini terjadi penumpukan AmLev dan porfobilinogen dan sedikit gejala foto sensitifitas oleh karena terjadi kelebihan koproporfirinogen dan uroporfirinogen. Pemberian infus hematinakan memberikan perbaikan terhadap penderita.

d. Porfiria Varigata (Variegate Porphyria)
Merupakan penyakit yang diturunkan secara autosomal dominan. Gangguan terjadi akibat hambatan parsial perubahan protoporfirinogen menjadi heme dan tampaknya yang bertanggungjawab adalah 2 enzim dalam mitokondria yaitu protoporfirinogen oksidase dan ferokelatase. Kultur sel fibroblas kulit dari penderita ini menunjukkan hanya 50% dari batas normal enzim protoporfirinogen oksidase. Penderita menunjukkan defisiensi heme yang relatif pada keadaan stres dan terjadi derepresi dari AmLev sintase. Pada penderita ini diekskresi AmLev, porfobilinogen, uroporfirin, koproporfirin didalam urine dan uroporfirin, koproporfirin dan protoporfirin dalam fecesnya. Penderita menunjukkan fotosensitifitas pada kulitnya.

e. Porphyria Cutanea Tarda
Merupakan penyakit yang diturunkan secara autosomal dominan tetapi baru muncul terutama bila terjadi kerusakan hati. penyakit ini merupakan jenis porfiria yang paling sering dijumpai. Biasanya berhubungan dengan beberapa kerusakan hati terutama oleh karena terlampau banyak alkohol atau besi. Penyebab gangguan metabolisme sebenarnya belum diketahui dengan jelas, tetapi mungkin disebabkan defisiensi parsial enzim uroporfirinogen dekarboksilase.Urine penderita mengandung uroporfirin I dan III yang meningkat tetapi jarang dijumpai peningkatan ekskresi AmLev dan porfobilinogen dalam urine. Di dalam hati terdapat banyak porfirin sehingga menunjukkan fluoresensi yang kuat. Manifestasi klinis utama pada penderita ini adalah fotosensitifitas pada kulitnya.

f. Erythropoetic Protoporphyria
Disebabkan defisiensi parsial dari aktifitas enzim ferokelatase yang herediter dominan pada mitokondria semua jaringan. Gejala klinis sering berhubungan dengan urtikaria akut oleh sinar matahari. Protoporfirin IX meningkat didalam eritrosit, plasma dan feces, sedangkan kulit dan retikulosit menunjukkan fluoresensi merah.
2. Porfiria (di dapat) Akuisita
Disebabkan oleh zat-zat yang toksik seperti heksaklorobenzen, timbal, garam logam berat dan obat-obatan seperti griseofulvin. Logam berat menghambat beberapa enzim yang berperanan pada sintesis heme termasuk AmLev dehidratase, uroporfirinogen sintase dan ferokelatase. Timbal dapat terikat pada gugus SH ferokelatase dan AmLev dehidratase sehingga aktifitasnya terganggu.

Selasa, 14 Oktober 2008

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecepatan Reaksi Enzimatik

Kecepatan reaksi enzim dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut diantaranya adalah: (1) suhu; (2) pH; (3) kadar enzim; (4) kadar substrat; (5) aktivator; (6) inhibitor.

Suhu
Pada suhu kurang dari atau sama dengan 0ºC, biasanya enzim tidak mengalami kerusakan, tetapi umumnya tidak aktif. Pada suhu yang meningkat, kecepatan reaksi enzimatis akan bertambah. Setiap kenaikan suhu 10ºC kecepatan reaksi enzimatis meningkat dua kali lipat, tapi hanya sampai keadaan dimana tingkat energi kinetik enzim tidak melampaui tingkat yang memecahkan ikatan nonkovalen yang mempertahankan struktur protein/enzim. Kecepatan reaksi meningkat bila suhu ditingkatkan sampai pada suhu optimum.
Pada suhu optimum reaksi berlangsung paling cepat. Enzim didalam tubuh manusia memiliki suhu optimum sekitar 37oC. Enzim organisme mikro yang hidup dalam lingkungan dengan suhu tinggi mempunyai suhu optimum yang tinggi. Bila suhu ditingkatkan terus, maka jumlah enzim yang aktif akan berkurang karena mengalami denaturasi sehingga kecepatan reaksi justru menurun. Sebagian besar enzim menjadi tidak aktif pada pemanasan sampai 70 oC. Dalam beberapa keadaan, selama proses denaturasi masih reversibel jika pemanaasan dihentikan dan enzim didinginkan kembali aktivitasnya dapat pulih.
Pada suhu yang meningkat, kecepatan reaksi juga meningkat (Vo), tetapi denaturasi lebih mudah terjadi. Suhu optimum selalu berubah tergantung pada waktu.
pH
Enzim merupakan protrein jadi peka terhadap perubahan pH. Perubahan pH yang moderat ( berkisar 5 -9 ) akan mempengaruhi aktifitas enzim dengan mengubah status muatan pada gugus R yang bersifat asam atau basa lemah dari residu asam amino yang berfungsi pada proses katalisis. Perubahan pH dapat pula mengubah status muatan subtrat .
pH dimana enzim tersebut bekerja aktif secara optimal disebut pH optimum, yaitu pH dimana ∆S/t pada tiap-tiap saat selalu lebih besar dibandingkan pada pH yang lain.
Pada pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, enzim akan mengalami denaturasi.Hal ini disebabkan terjadinya protonasi atau deprotonasi residu asam amino yang bersifat asam atau basa sehingga residu tersebut tidak dapat lagi membentuk ikatan garam yang mempertahankan struktur sekunder, tersier dan kuartener.
Sebagian besar enzim di dalam tubuh mempunyai pH optimum antara 5 - 9, kecuali beberapa enzim misalnya pepsin (pH optimum = 2) dan (pH optimum=8).
Asam amino penyusun protein pada pH isolektrik (muatan + = -), digambarkan sebagai berikut :
Pada pH <> pH isoelektrik, gugus NH3+ akan berubah menjadi NH2. Dari uraian tersebut jelas bahwa perubahan pH dapat merubah muatan gugus asam amino, sehingga mengganggu aktivitasnya. Sebagai contoh misalnya reaksi antara enzim yang bermuatan negatif (Enz-) dan substratnya yang bermuatan positif (SH+).

Kinetika enzim


Mengukur Kadar Enzim

Enzim sebagai katalisator juga mempunyai sifat-sifat seperti katalisator pada umumnya, seperti ikut bereaksi, tetapi padaakhir reaksi didapatkan kembali dalam bentuk semula. Hal tersebut mengakibatkan enzim dapat dipakai kembali setelah melaksanakan aktivitasnya, sehingga tubuh kita tidak membutuhkan enzim dalam jumlah yang besar. Jumlah/kadar enzim yang kecil tersebut menimbulkan kesulitan tersendiri bagi kita untuk mengukur kadar enzim, sehingga memerlukan teknik yang rumit. Secara klinis pengukuran kadar enzim sangat penting dilakukan. Disamping untuk mengetahui kadar suatu enzim pada seorang penderita, Enzim plasma nonfungsinal dapat dijadikan sebagai petanda adanya kerusakan organ tertentu.
Pengukuran kadar enzim dapat dilkaukan denga dua cara, yaitu: (1) dibandingkan dengan enzim murni; (2) Mengukur kecepatan reaksi yang dikatalisisnya. Cara ke-1 dilakukan dengan membandingkan enzim yang ingin diukur kadarnya dengan enzim murni yang sudah
diketahui kadarnya. Kadar enzim dinyatakan dengan satuan µg. Sebagai contoh misalnya enzim murni dengan kadar 2 ug dapat mengkatalisis substrat dengan jumlah tertentu selama 10 detik. Jika memakai enzim yang ingin diukur kadarnya membutuhkan waktu 20 detik, maka kadar enzim yang bersangkutan adalah 1 ug.
Pengukuran dengan cara diatas, jelas membutuhkan tersedianya enzim murni. Kenyataannya banyak enzim yang belum tersedia bentuk murninya. Untuk mengatasi hal ini digunakanlah cara ke-2. Satuan enzim dinyatakan dalam unit. Kadar enzim diukur berdasarkan jumlah substrat yang bereaksi atau produk yang terbentuk per satuan waktu. Satu unit internasional disepakati sebagai jumlah enzim yang perlukan untuk mengkatalisis pembentukan 1 µ mol produk per menit pada kondisi tertentu.
Pengukuran aktifitas enzim dapat pula dilakukan menggunakan alat spektrofotometer. Sebagai contoh misalnya aktifitas enzim dehidrogenase yang bergantung NAD(P)+ diperiksa secara spektofotometris dengan mengukur perubahan absorbsi nya pada 340 nm yang menyertai oksidasi atau reduksi NAD(P)+/NAD(P)H. Oksidasi NADH menjadi NAD+ terjadi disertai dengan penurunan densitas optik (OD, optical density) pada 340 nm, yang proporsional dengan jumlah NADH yang dioksidasi. Demikian pula, kalau NAD+ direduksi, OD pada 340 nm akan meningkat sebanding dengan jumlah NADH yang terbentuk. Perubahan OD pada 340 nm ini dapat dimanfaatkan bagi pemeriksaan analisis kuantitatif setiap enzim dehidrogenase yang bergantung NAD+ atau NADP+. Bagi enzim dehidrogenase yang mengatalitis oksidasi NADH oleh substratnya yang teroksidasi, kecepatan penurunan OD pada 340 nm akan berbanding lurus dengan konsentrasi enzim. Oleh karena itu, hasil pengukuran kecepatan penurunan OD pada 340 nm memungkinkan kita menyimpulkan kuantitas enzim.

Kecepatan Reaksi Enzimatik
Kecepatan reaksi enzimatik dapat diukur dengan mengukur jumlah substrat yang diubah atau produk yang dihasilkan persatuan waktu, seperti yang diperlihatkan pada kurva perjalanan reaksi enzimatik (progess curve). Pada awalnya grafik berupa garis lurus, kemudian berbelok (Gambar 3.2). Grafik berbelok karena: (1) kadar substrat berkurang; (2) terdapat product inhibition. Kecepatan reaksi enzimatik pada suatu waktu yang sangat pendek, atau pada satu titik tertentu pada grafik diatas disebut kecepatan sesaat (instantaneus velocity). Kecepatan sesaat merupakan tangens dari garis singgung terhadap grafik pada suatu titik tertentu. Kecepatan sesaat pada waktu mendekati nol, yaitu saat grafik masih berupa garis lurus disebut kecepatan awal (Vo). Pada reaksi enzimatis, jika disebut kecepatan, umumnya yang dimaksud adalah kecepatan awal. Hal ini disebabkan karena pada keadaan awal reaksi, kita dapat mengetahui kondisi/ keadaan dengan lebih tepat. Disamping kecepatan sesaat dan Vo, juga dikenal istilah kecepatan rata-rata, yaitu perbandingan antara perubahan jumlah substrat terhadap waktu.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecepatan Reaksi Enzimatik
Kecepatan reaksi enzim dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut diantaranya adalah: (1) suhu; (2) pH; (3) kadar enzim; (4) kadar substrat; (5) aktivator; (6) inhibitor.

Minggu, 12 Oktober 2008

Metabolisme Porfirin

METABOLISME PORFIRIN
1. Pendahuluan
1.1 Batasan
Porfirin adalah senyawa siklik yang dibentuk dari gabungan empat cincin pirol melalui jembatan metenil (-CH=). Sifat khas porfirin adalah pembentukan kompleks dengan ion-ion logam (metaloporfirin) yang terikat pada atom nitrogen cincin-cincin pirol. Sebagai contoh misalnya heme yang merupakan porfirin besi dan klorofil, merupakan porfirin magnesium.
Di alam, metaloporfirin terkonjugasi dengan protein membentuk senyawa-senyawa penting dalam proses biologi, antara lain: (1) Hemoglobin, merupakan porfirin besi yang terikat pada protein globin dan mempunyai fungsi penting pada mekanisme transport oksigen dalam darah;(2) Mioglobin, merupakan pigmen pernafasan yang terdapat dalam sel-sel otot; (3) Sitokrom, berperan sebagai pemindah elektron (electron transfer) pada proses oksidasi reduksi.
1.2 Kimia Porfirin
Porfirin mengandung nitrogen tersier pada 2 cincin pirolen sehingga bersifat basa lemah dan adanya gugus karboksil pada rantai sampingnya menyebabkan juga bersifat asam. Titik isoelektriknya berkisar pada pH 3-4, sehingga pada pH trersebut porfirin mudah diendapkan dalam larutan air. Berbagai jenis porfirinogen tidak berwarna, sedangkan berbagai jenis porfirin berwarna. Porfirin dan derivat-derivatnya mempunyai spektrum absorbsi yang khas pada daerah yang dapat dilihat dan pada daerah ultraviolet. Larutan porfirin dalam HCl 5% mempunyai pita absorbsi pada 400 nm yang disebut pita Soret.
Porfirin dalam asam mineral kuat atau pelarut organik dan kemudian disianari sinar ultraviolet akan memancarkan fluoresensi merah yang kuat. Sifat fluoresensi ini sangat khas sehingga sering dipakai untuk mendeteksi porfirin bebas dengan jumlah yang sedikit. Sifat absorbsi dan fluoresensi yang khas dari porfirin disebabkan oleh ikatan rangkap yang menyatukan cincin pirol. Ikatan rangkap ini tidak ada pada porfirinogen sehingga tidak menunjukkan sifat-sifat tersebut. Jika porfirinogen mengalami oksidasi dengan melepaskan 6 atom H akan terbentuk porfirin yang mempunyai ikatan rangkap.
2. Biosintesis Heme
2.1 Tahap-tahap Biosintesis Heme

Biosintesis heme dapat terjadi pada sebagian besar jaringan kecuali eritrosit dewasa yang tidak mempunyai mitokondria. Sekitar 85% sintesis heme terjadi pada sel-sel prekursor eritoid di sumsum tulang dan sebagian besar sisanya di sel hepar. Biosintesis heme dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu: (1) Sintesis porfirin; (2) Sintesis heme.
Biosintesis heme dimulai di mitokondria melalui reaksi kondensasi antara suksinil-KoA yang berasal dari siklus asam sitrat dan asam amino glisin. Reaksi ini memerlukan piridoksal fosfat untuk mengaktivasi glisin, diduga piridoksal bereaksi dengan glisin membentuk basa Shiff, di mana karbon alfa glisin dapat bergabung dengan karbon karbosil suksinat membentuk α-amino-β-ketoadipat yang dengan cepat mengalami dekarboksilasi membentuk d-amino levulinat (ALA/AmLev). Rangkaian reaksi ini dikatalisis oleh AmLev sintase/sintetase yang merupakan enzim pengendali laju reaksi pada biosintesis porfirin.
AmLev yang terbentuk kemudian keluar ke sitosol. Di sitosol 2 molekul AmLev dengan perantaraan enzim AmLev dehidratase/dehidrase membentuk porfobilinogen yang merupakan prazat pertama pirol. AmLev dehidratase merupakan enzim yang mengandung seng dan sensitif terhadap inhibisi oleh timbal
Empat porfobilinogen selanjutnya mengadakan kondensasi membentuk tetrapirol linier yaitu hidroksi metil bilana yang dikatalisis oleh enzim uroporfirinogen I sintase (porfobilinogen deaminase). Hidroksi metil bilana selanjutnya mengalami siklisasi spontan membentuk uroporfirinogen I yang simetris atau diubah menjadi uroporfirinogen III yang asimetris dan membutuhkan enzim tambahan yaitu uroporfirinogen III kosintase Pada kondisi normal hampir selalu terbentuk uroporfirinogen III.
Uroporfirinogen III selanjutnya mengalami dekarboksilasi, semua gugus asetatny (A) menjadi gugus metil (M) membentuk koproporfirinogen III. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim uroporfirinogen dekarboksilase. Enzim ini juga mampu mengubah uroporfirinogen I menjadi koproporfirinogen I.
Selanjutnya, koproporfirinogen III masuk ke dalam mitokondria serta mengalami dekarboksilasi dan oksidasi, gugus propionat (P) pada cincin I dan II berubah menjadi vini (V). Reaksi ini dikatalisis oleh koproporfirinogen oksidase dan membentuk protoporfirinogen IX. Enzim tersebut hanya bisa bekerja pada koproporfirinogen III, sehingga protoporfirinogen I umumnya tidak terbentuk. Protoporfirinogen IX selanjutnya mengalami oksidasi oleh enzim protoporfirinogen oksidase membentuk protoporfirin IX. Protoporfirin IX yang dihasilkan akan mengalami proses penyatuan dengan Fe++ melalui suatu reaksi yang dikatalisis oleh heme sintase atau ferokelatase membentuk heme.
2.2 Pengendalian Biosintesis Heme
Enzim yang bertindak sebagai regulator biosintesis heme adalah AmLev sintase. Heme yang mungkin bekerja melalui molekul aporepresor menghambat sintesis AmLev sintase, dalam hal ini kemungkinan terjadi feed back negative. Obat yang metabolismenya menggunakan hemoprotein spesifik di hati (sitokrom-P450) menyebabkan konsentrasi heme intra seluler menurun. Hal ini menyebabkan represi terhadap AmLev sintase menurun. Aktivitas AmLev sintase meningkat sehingga sintesis heme juga meningkat. Pemberian glukosa dan hematin dapat mencegah pembentukan AmLev sintase sehingga menurunkan sintesis heme.

Rabu, 08 Oktober 2008

Kofaktor

Kofaktor

Banyak enzim dalam melaksanakan fungsi katalitiknya membutuhkan senyawa lain yang bukan protein. Senyawa lain tersebut disebut kofaktor. Kofaktor tersebut harus terikat terlebihdulu dengan enzim sebelum melaksanakan fungsi katalitiknya. Kofaktor dapat berupa senyawa inorganik atupun organik. Kofaktor yang berupa senyawa inorganik, yaitu logam disebut kofaktor logam, sedangkan kofaktor yang berupa senyawa organik nonprotein disebut koenzim.

Kofaktor Logam
Logam berperananan baik membantu proses katalisis oleh enzim maupun penyusunan struktural yang penting. Sebagian enzim yang dikenal mengandung atau memerlukan logam yang berikatan secara kovalen atau nonkovalen untuk aktivitasnya. Jika terikat secara kovalen, pada pemurnian enzim, logam tidak dapat dilepaskan. Enzim yang seperti itu disebut metaloenzim, sedangkan yang terikat secara nonkovalen, biasanya logam berupa ion logam yang diperlukan untuk mengaktifkan enzim. Perbedaan antara metaloenzim dan enzim yang diaktifkan logam, juga dapat dilihat pada afinitas enzim terhadap logamnya.
Pada beberapa metalo enzim, logam yang terikat secara kovalen, sering mempunyai aktivitas katalitik sendiri. Sebagai contoh misalnya enzim katalse mengandung besi (katalase merupakan porfirin besi). Katalase mengkatalisis perubahan hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Besi sendiri dapat mengkatalisis reaksi diatas dengan kecepatan yang lebih lambat. Antara active site enzim (Enz), logam (M), dan substratnya (S), membentuk kompleks.
Sebagian enzim membutuhkan senyawa organik nonprotein yang spesifik dalam melaksanakan fungsinya/ mengkatalis reaksi-reaksi. Senyawa organik itu disebut koenzim. Koenzim mempunyai bobot molekul rendah dan lebih stabil terhadap panas, Bila ada komplek/ ikatan enzim dan koenzim dapat terjadi katalisis. Sistem komplek enzim dan koenzim itu disebut holoenzim. Apabila koenzim terlepas, enzim menjadi inaktif dan dinamakan apoenzim. Koenzim akan memperbesar kemampuan katalitik sebuah enzim sehingga jauh melebihi kemampuannya sendiri. Jenis reaksi yang sering memerlukan koenzim adalah oksidasi reduksi, reaksi-reaksi pemindahan gugus dan isomerasi yang menghasilkan pembentukan ikatan kovalen (klas1, 2, 5, dan 6) sebaliknya yaitu reaksi lisis, termasuk reaksi hidrolisis seperti yang dikatalis oleh enzim-enzim saluran pencernaan umumnya tidak memerlukan koenzim
katan antara koenzim dengan enzim dapat berupa ikatan kovalen maupun nonkovalen. Jika ikatan berupa ikatan kovalen, maka koenzimnya yang membentuk ikatan dengan enzim dinamakan gugus prostetik. Jika ikatan berupa ikatan nonkovalen yang lebih lemah koenzim sering disebut dengan kosubstrat. Koenzim yang mampu berdifusi secara bebas umumnya dapat didaur ulang dan berfungsi sebagai unsur pembawa hidrogen (FADH, NADH dan NADPH), atau unit-unit kimia seperti gugus asil (koenzim A) dan gugus metil (folat).
Koenzim yang terikat dengan ikatan nonkovalen dianggap sebagai kosubstrat atau substrat sekunder karena dua alasan, yaitu :
1) Perubahan kimia pada koenzim tepat mengimbangi perubahan kimia yang terjadi di dalam substrat.
2) Perubahan kimia pada koenzim sering mempunyai makna fisologis mendasar yang lebih penting.
Banyak dari koenzim-koenzim tersebut merupakan derivat ataupun mengandung vitamin B komplek, serta derivat adenosin monofosfat (AMP). Hal ini dikarenakan vitamin B (nikotinamida, tiamin, riboflavin dan asam pantotenat) merupakan unsur esensial yang membentuk koenzim bagi oksidasi serta reduksi biologik. Misalnya untuk metabolisme asam-asam amino diperlukan vitamin B6. Untuk oksidasi biologi diperlukan nikotinamida, tiamin, riboflavin, asam pantotenat dan asam lipoat. Untuk metabolisme zat dengan satu atom C diperlukan asam folat dan vitamin B12.Demikian juga AMP seperti ; adenin, ribosa, serta fosfat.

Isozim (Isomerik Enzim)
Isozim merupakan sekolompok enzim yang mempunyai aktivitas yang sama. Bentuk-bentuk enzim tersebut berbeda secara fisik, kimia dan imunologik dan dapat dipisahkan. Isozim lazim ditemukan di dalam serum dan jaringan semua vertebrata, insekta, tumbuhan, dan organisme uniseluler. Jaringan yang berbeda dapat mengandung isozim yang berbeda pula, dan semua isozim ini mempunyai afinitas berbeda-beda terhadap substrat.

Proenzim atau zimogen merupakan enzim yang diproduksi dalam bentuk inaktif. Ada dua tujuan utama pembentukan proenzim ini, yaitu: (1) Melindungi tubuh dari proses autodigesti; (2) Melayani kebutuhan enzim tertentu dengan cepat. Sebagai contoh misalnya pepsinogen, tripsiogen dan kemotripsinogen.